Regulasi Kaku vs. Regulasi Cerdas: Mengapa Kondisi Apoteker di Indonesia dan AS Berbeda Jauh?
Membandingkan Kewarasan


Di Amerika Serikat (AS), seorang pasien bisa masuk ke apotek dan mendapatkan resep untuk kontrasepsi, obat penanganan HIV (PrEP), atau obat flu langsung dari apoteker. Di Indonesia, skenario ini nyaris mustahil. Apoteker di Indonesia umumnya berperan sebagai eksekutor resep yang ditulis dokter, sementara apoteker di AS telah berevolusi menjadi praktisi klinis dengan kewenangan yang terus berkembang.
Perbedaan yang mencolok ini bukanlah kebetulan. Ia adalah cerminan dari dua "peradaban" regulasi yang fundamental berbeda: model paternalistik yang kaku di Indonesia dan model progresif berbasis bukti di AS.
Paradigma Indonesia: Paternalisme "Negara Tahu yang Terbaik"
Sistem regulasi di Indonesia berakar kuat pada filosofi paternalisme, sebuah warisan yang berakar dari budaya hierarkis dan model pemerintahan terpusat. Paternalisme ini beroperasi di bawah asumsi bahwa "negara tahu yang terbaik" dan masyarakat dianggap tidak mampu membuat keputusan rasional tentang obat-obatan tanpa pengawasan ketat.
Manifestasi dari paradigma ini terlihat jelas:
Struktur Hierarkis: Dokter diposisikan sebagai pemegang otoritas tunggal dalam diagnosis dan peresepan. Apoteker ditempatkan sebagai subordinat yang berfungsi sebagai pelaksana teknis.
Regulasi Top-Down: Kebijakan seperti penggolongan obat (UU No. 17 Tahun 2023) dan standar praktik ditentukan secara terpusat oleh Kementerian Kesehatan atau BPOM, seringkali dengan masukan minimal dari organisasi profesi atau data lapangan.
Fokus pada Kepatuhan, Bukan Hasil: Regulasi cenderung kaku dan preskriptif. Sebagai contoh, standar pelayanan kefarmasian (Permenkes 73/2016) menetapkan berbagai layanan klinis, namun standar ini sulit diterapkan karena tidak didukung oleh infrastruktur pendukung, seperti model pembiayaan (insentif finansial) atau pelatihan klinis yang memadai. Fokusnya adalah "mematuhi aturan" di atas kertas, bukan "mencapai hasil" kesehatan pasien.
Sistem ini menciptakan budaya kepatuhan formalistik, di mana apoteker terjebak dalam peran administratif dan logistik, menghabiskan sebagian besar waktu untuk manajemen stok daripada interaksi klinis.
Paradigma AS: Evolusi Berbasis Bukti dan Data
Sebaliknya, AS menunjukkan model evolusi regulasi yang progresif. Peran apoteker tidak diperluas berdasarkan asumsi, melainkan berdasarkan akumulasi data dan bukti ilmiah yang kuat.
Kebijakan Berbasis Riset: Perluasan kewenangan apoteker didorong oleh penelitian yang membuktikan bahwa layanan yang mereka berikan aman, efektif, dan hemat biaya. Misalnya, data menunjukkan bahwa peresepan PrEP oleh apoteker meningkatkan tingkat peresepan obat vital ini sebesar 11.6%, terutama di daerah yang sebelumnya sulit dijangkau.
"Laboratorium Regulasi" di Tingkat Negara Bagian: AS memiliki 50 "laboratorium" kebijakan. Setiap negara bagian dapat bereksperimen dengan model yang berbeda. Negara bagian seperti Idaho dan New Mexico yang memberikan kewenangan peresepan luas kepada apoteker menjadi model percontohan. Jika model itu terbukti berhasil (misalnya, menurunkan angka rawat inap atau meningkatkan akses), negara bagian lain akan mengadopsinya.
Ekosistem yang Matang: Proses pembuatan kebijakan melibatkan ekosistem pemangku kepentingan yang canggih. Organisasi profesi seperti APhA dan AMCP secara aktif menyediakan data dan analisis riset kepada legislator untuk mengadvokasi perubahan.1
Hasilnya adalah regulasi yang dinamis, adaptif, dan berfokus pada hasil. Ketika data menunjukkan apoteker dapat menangani kontrasepsi dengan aman, regulasi diubah untuk mengizinkannya.
Lingkaran Setan vs. Lingkaran Positif
Perbedaan fundamental dalam "kecakapan regulasi" ini menciptakan dua siklus yang sangat berbeda bagi profesi apoteker.
Di Indonesia, terjadi "Lingkaran Setan":
Regulasi yang kaku --> membatasi peran klinis apoteker --> apoteker tidak dapat menunjukkan nilai dan kompetensi klinisnya secara maksimal --> tidak ada data outcome (hasil) yang bisa digunakan untuk advokasi --> regulator tidak memiliki bukti untuk mengubah regulasi --> regulasi tetap kaku.
Dampaknya adalah stagnasi profesional. Persepsi publik tetap melihat apoteker sebagai "penjual obat", dan model ekonomi apotek bergantung pada volume resep dokter, bukan pada nilai layanan intelektual (kognitif) apoteker.
Di AS, terjadi "Lingkaran Positif" (Virtuous Cycle):
Kebutuhan kesehatan publik (misal: akses PrEP) --> mendorong regulasi fleksibel (uji coba) --> apoteker mendapatkan peran baru dan membuktikan nilainya --> riset mengukur outcome positif (peningkatan akses, aman) --> data ini menjadi bukti kuat untuk advokasi --> regulasi diperluas secara permanen dan ditiru negara bagian lain.
Dampaknya adalah evolusi profesional. Apoteker bertransformasi dari "penghitung pil" menjadi "ahli terapi obat" dan kini diakui sebagai penyedia layanan kesehatan yang independen.
Jalan ke Depan: Membangun Kecakapan Regulasi
Perbedaan antara apoteker Indonesia dan AS bukanlah soal kompetensi individu, melainkan soal kematangan sistem regulasi yang menaunginya.
Untuk maju, Indonesia tidak bisa hanya menyalin regulasi AS. Indonesia perlu membangun "kecakapan regulasi" (regulatory literacy)-nya sendiri. Ini adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan transformasi budaya dalam pemerintahan:
Mulai Menggunakan Data: Regulator harus beralih dari pembuatan kebijakan berbasis asumsi ke berbasis data. Penelitian tentang efektivitas intervensi apoteker di konteks Indonesia harus didanai dan digunakan sebagai dasar kebijakan.
Uji Coba Terkendali: Menerapkan "kotak pasir regulasi" (regulatory sandbox), di mana program percontohan (misalnya, apoteker mengelola penyakit kronis di area terbatas) dapat diuji coba dengan evaluasi yang ketat.
Menggeser Fokus: Mengubah fokus dari "kepatuhan formalistik" (centang boks) menjadi "hasil klinis pasien" (pasien terkontrol). Ini berarti menyelaraskan standar praktik dengan infrastruktur pelatihan dan model pembiayaan yang mendukung.
Pada akhirnya, transformasi fungsi profesional apoteker hanya akan terjadi jika regulator bersedia berevolusi dari penjaga yang paternalistik menjadi fasilitator yang cerdas dan berbasis bukti.
