Mengintip Kepemilikan Apotek di Inggris, Jerman, dan Indonesia: Mana yang Lebih Baik?

Sebuah Perbandingan

apt. Ismail, S.Si (Presidium Nasional FIB)

6/20/20252 min read

Bagaimana sebenarnya apotek dimiliki dan dioperasikan di berbagai negara? Mungkin tak banyak yang tahu bahwa aturan kepemilikan apotek bisa sangat berbeda antar negara, dan ternyata punya dampak besar terhadap kualitas layanan kesehatan yang diterima masyarakat. Mari kita bandingkan sistem kepemilikan apotek di tiga negara: Inggris, Jerman, dan Indonesia.

Inggris: Bebas Milik Siapa Saja

Di Inggris, apotek bisa dimiliki oleh siapa saja, baik apoteker, perusahaan, maupun jaringan ritel besar seperti supermarket. Tak heran jika banyak apotek berdiri di bawah naungan merek-merek raksasa seperti Boots atau Lloyds. Sekitar 40% apotek di Inggris kini dimiliki oleh korporasi atau supermarket.

Meski siapa pun boleh memiliki apotek, setiap apotek wajib memiliki apoteker penanggung jawab yang hadir di lokasi selama jam operasional. Sistem ini memberi ruang untuk efisiensi dan ekspansi bisnis, namun juga menimbulkan tantangan dalam menjaga konsistensi layanan.

Uniknya, tren terbaru menunjukkan bahwa apotek-apotek kecil dan independen mulai tumbuh kembali. Antara 2022 dan 2023, jumlah apotek independen justru meningkat, sementara jumlah apotek milik jaringan besar menurun. Ada indikasi bahwa masyarakat mulai mencari layanan yang lebih personal dan tidak serba korporatis.

Jerman: Harus Dimiliki Apoteker

Berbanding terbalik dengan Inggris, Jerman menerapkan aturan sangat ketat soal kepemilikan apotek. Hanya apoteker yang boleh memiliki apotek, dan itu pun maksimal satu apotek utama dan tiga cabang kecil. Apotek jaringan besar? Tidak boleh.

Sistem ini mendorong tanggung jawab langsung dari apoteker, menjaga independensi profesi, dan mencegah pengaruh kepentingan bisnis dalam layanan kesehatan. Model ini dinilai berhasil menjaga mutu pelayanan dan telah dikukuhkan oleh Pengadilan Eropa sebagai langkah perlindungan konsumen yang sah.

Namun, pembatasan ini juga berarti pertumbuhan pasar farmasi di Jerman tidak secepat negara lain, karena ekspansi dibatasi oleh regulasi yang ketat.

Indonesia: Campur Tangan Bisnis Cukup Besar

Indonesia mengambil jalan tengah. Berdasarkan regulasi terbaru, apotek diharuskan dimiliki oleh apoteker, tetapi memungkinkan kolaborasi dengan pemilik modal non-apoteker melalui perjanjian resmi. Dalam praktiknya, mayoritas apotek di Indonesia justru dimiliki oleh non-apoteker. Di Jawa Timur, misalnya, hanya sekitar 32% apotek yang benar-benar dimiliki oleh apoteker.

Kondisi ini membuat banyak apotek lebih berorientasi pada bisnis daripada pelayanan, yang bisa mempengaruhi mutu layanan farmasi. Ditambah lagi, distribusi apotek cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, meninggalkan daerah terpencil dengan akses yang minim.

Mana yang Paling Ideal?

Setiap model punya kelebihan dan kekurangan. Inggris unggul dalam fleksibilitas dan efisiensi bisnis, tapi perlu waspada terhadap dominasi pasar oleh korporasi. Jerman menempatkan kontrol penuh di tangan profesional, namun membatasi pertumbuhan bisnis. Indonesia mencoba mencari keseimbangan, tetapi belum menemukan titik ideal, ketimpangan distribusi dan dominasi pemilik modal masih menjadi tantangan besar.

Yang pasti, sistem kepemilikan apotek bukan sekadar soal siapa yang boleh memiliki, tapi menyangkut kualitas layanan kesehatan yang diterima masyarakat luas. Bagi Indonesia, ini jadi momentum untuk mengevaluasi kembali: apakah apotek akan dibiarkan jadi ladang bisnis, atau dikembalikan ke akarnya sebagai layanan kesehatan masyarakat?