Mengapa Praktik Apoteker di Negara Berkembang Masih Tertinggal? Ini Tantangan Nyatanya

Melihat Masalah yang Sama

apt. Ismail, S.Si (Presidium Nasional FIB)

6/16/20252 min read

Apoteker dikenal sebagai garda depan dalam penggunaan obat yang aman dan rasional. Tapi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah (low- and middle-income countries/LMICs), potensi besar profesi ini belum tergali sepenuhnya. Bukan karena kurangnya niat atau kemampuan, tapi karena berbagai hambatan struktural, budaya, dan sistemik yang menghambat perkembangan praktik Apoteker yang efektif.

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara ringkas namun mendalam mengenai tantangan utama yang dihadapi praktik Apoteker di negara-negara berkembang, serta bagaimana jalan keluarnya dapat ditemukan melalui reformasi kebijakan, sistem, pendidikan, dan budaya profesional.

1. Tiga Hambatan Besar Praktik Farmasi di Negara Berkembang

A. Keterbatasan Sistem Kesehatan

Banyak negara berkembang masih memiliki sistem kesehatan yang belum matang. Minimnya regulasi profesi, sulitnya akses obat esensial, distribusi yang tidak merata, serta tidak adanya jaminan kesehatan universal membuat peran apoteker terbatas. Apoteker seringkali tidak diakui sebagai tenaga kesehatan yang strategis dan tidak mendapat imbalan yang setimpal.

B. Rendahnya Kualitas Layanan Farmasi

Meski apotek komunitas adalah titik akses kesehatan terdekat bagi masyarakat, mereka kerap tidak dimaksimalkan. Layanan sering terbatas pada penjualan obat, tanpa konsultasi atau edukasi pasien. Kurangnya standar layanan dan pengembangan profesi berkelanjutan membuat kualitasnya tidak merata.

C. Pendidikan dan Profesionalisme

Masih banyak negara berkembang yang mengalami kekurangan tenaga Apoteker terlatih. Kurikulum pendidikan kadang terlalu maju dibanding praktik di lapangan. Akibatnya, lulusan Apoteker kesulitan menerapkan ilmu klinis mereka karena sistem belum mendukung baik dari segi regulasi, budaya kerja, maupun persepsi masyarakat.

2. Regulasi dan Tekanan Ekonomi

A. Aturan yang Membatasi

Di banyak negara, hukum dan kebijakan belum mengakomodasi peran apoteker dalam layanan klinis seperti manajemen penyakit kronis atau terapi obat. Peran mereka terbatas hanya sebagai "penjual obat", bukan bagian dari tim pelayanan kesehatan.

B. Tekanan Bisnis

Banyak apotek komunitas bertahan dari margin penjualan. Karena tidak didanai untuk memberikan layanan klinis, mereka lebih fokus pada penjualan daripada edukasi atau konseling. Ini mendorong praktik seperti swamedikasi tanpa pengawasan dan penjualan obat tanpa resep.

3. Hambatan Budaya, Organisasi, dan Individu

A. Budaya Profesi yang Terjebak di Zona Nyaman

Lingkungan kerja yang terlalu komersial membuat banyak apoteker sulit menyeimbangkan antara aspek bisnis dan pelayanan klinis. Kurangnya otonomi dan sumber daya memperparah keadaan.

B. Sikap dan Mentalitas Pribadi

Walau banyak apoteker memiliki niat baik dan kepribadian yang cocok untuk melayani pasien, mereka sering kali ragu, takut mengambil tanggung jawab baru, atau terlalu tunduk pada otoritas profesi lain. Ini membuat perubahan berjalan lambat.

C. Kesenjangan Antara Pendidikan dan Praktik

Banyak lulusan baru yang siap menjalankan peran klinis harus menghadapi kenyataan bahwa praktik di lapangan tidak mendukung. Mereka sering mendengar kalimat seperti, "Itu bukan bagian dari pekerjaan kita," yang akhirnya mematikan semangat inovasi.

4. Peluang Perubahan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Reformasi Regulasi
Pemerintah perlu memperbarui kebijakan untuk memberi kewenangan lebih luas bagi apoteker dalam pemantauan terapi, edukasi pasien, dan manajemen penyakit kronis.

Menjembatani Pendidikan dan Praktik
Kerja sama antara institusi pendidikan dan regulator penting untuk memastikan lulusan siap praktik dan didukung oleh sistem.

Meningkatkan Kesadaran Publik dan Integrasi Sistem
Masyarakat perlu tahu bahwa apoteker bukan sekadar "penjual obat". Integrasi apoteker ke dalam sistem kesehatan nasional (misalnya lewat rekam medis elektronik atau sistem rujukan) bisa memperkuat peran Apoteker.

Dukungan Sistemik dan Budaya Organisasi
Apoteker yang siap berubah perlu didukung oleh lingkungan kerja yang mendukung, termasuk desain tempat kerja yang baik, jumlah staf yang memadai, dan budaya profesional yang progresif.

Kesimpulan: Saatnya Bergerak Lebih Maju

Praktik keapotekeran yang efektif di negara berkembang tidak bisa hanya dibebankan pada apotekernya saja. Diperlukan perubahan menyeluruh dari kebijakan pemerintah, sistem pendidikan, hingga budaya kerja dan persepsi masyarakat.

Apoteker memiliki potensi besar sebagai pendorong kualitas layanan kesehatan. Tapi tanpa sistem yang mendukung, potensi ini akan terus terhambat. Kini saatnya berinvestasi dalam perubahan untuk layanan keapotekeran yang lebih bermakna, dan untuk kesehatan masyarakat yang lebih terjamin.