Mengapa Apoteker Perlu Dibayar atas Layanannya, Bukan Sekadar Jual Obat

Pelajaran dari Inggris untuk Penguatan Layanan Farmasi Klinik di Indonesia

apt. Ismail, S.Si. (Presidium Nssional FIB)

6/20/20252 min read

Di tengah upaya pemerintah mendorong efisiensi pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), satu sektor layanan yang kerap luput dari perhatian adalah farmasi klinik. Padahal, peran apoteker tidak hanya sebatas menyerahkan obat, tetapi juga mencakup edukasi pasien, skrining, pemantauan terapi, hingga mencegah kesalahan pengobatan. Masalahnya, sistem pembayaran atau remunerasi di Indonesia belum memberi insentif yang memadai untuk peran tersebut.

Sebagai perbandingan, Inggris telah lebih dahulu mengembangkan layanan farmasi klinik berbasis komunitas. Pemerintah Inggris, melalui sistem kesehatan nasional (National Health Service atau NHS), secara aktif mendorong apoteker komunitas menjadi garda terdepan layanan primer. Salah satu contohnya adalah program Pharmacy First, yang memberikan insentif sebesar £1.000 (sekitar Rp20 juta) per bulan per apotek, ditambah bayaran per konsultasi sekitar £15–£17, untuk menangani penyakit ringan seperti batuk pilek, sakit tenggorokan, atau infeksi ringan.

Apotek juga mendapat tambahan bayaran untuk layanan seperti skrining tekanan darah, kontrasepsi, dan vaksinasi. Hasilnya, ribuan konsultasi medis yang biasanya membebani dokter umum kini bisa dialihkan ke apoteker. Program ini bukan hanya meringankan sistem, tapi juga hemat anggaran, diperkirakan hingga £1,9 miliar (Rp38 triliun) per tahun.

Lebih penting lagi, model pembayaran berbasis layanan ini menciptakan insentif yang mendorong apoteker untuk terus mengembangkan layanan, meningkatkan kualitas, serta berinovasi, termasuk lewat konsultasi daring dan integrasi rekam medis.

Indonesia: Apoteker Masih Terjebak di Etalase

Berbeda dengan Inggris, apoteker di Indonesia sebagian besar masih menerima penghasilan dari penjualan obat, bukan dari jasa layanan. Bahkan di apotek komunitas, peran mereka sering kali terbatas pada menyerahkan obat sesuai resep. Sistem JKN belum menyediakan skema pembayaran khusus untuk jasa apoteker, seperti konseling, deprescribing, atau pemantauan efek samping obat.

Di rumah sakit pemerintah, pembagian jasa pelayanan untuk apoteker pun tergolong kecil, misalnya hanya sekitar 2,4% dari total jasa medis di RS kelas D. Tak heran, banyak apoteker akhirnya fokus pada aspek bisnis daripada pengembangan layanan klinik. Mereka ingin memberikan layanan lebih bermakna, namun sistem belum mendukung secara struktural maupun finansial.

Beberapa survei menunjukkan mayoritas apoteker di Indonesia sebenarnya mendukung sistem fee for service untuk layanan klinis. Sayangnya, hingga kini kebijakan dan pembiayaan dari pemerintah belum mengarah ke sana.

Mengapa Ini Penting?

Layanan farmasi klinik yang kuat dapat mencegah kesalahan pengobatan, meningkatkan kepatuhan pasien, dan menekan angka rawat inap akibat efek samping obat. Data menunjukkan bahwa intervensi apoteker dapat menghemat ratusan miliar rupiah per tahun. Tapi tanpa sistem pembayaran berbasis layanan, potensi itu tidak akan maksimal.

Sistem remunerasi yang adil dan berbasis outcome adalah fondasi penting bagi penguatan layanan farmasi klinik. Sudah saatnya Indonesia mengambil pelajaran dari negara-negara seperti Inggris, bahwa pembayaran atas jasa apoteker adalah investasi dalam kesehatan masyarakat, bukan beban anggaran.

Penutup:

Jika Indonesia ingin memperkuat sistem kesehatan primer dan menekan beban JKN, maka apoteker harus diberi peran yang lebih luas, dan yang tak kalah penting, dibayar secara layak atas layanan profesionalnya. Bukan sekadar penjual obat.