Lahan Subur Resistensi Antimikroba itu bernama Puskesmas?
Akibat Seremoni Gimmick?


Ada sebuah perang yang sedang berlangsung. Lawannya bukan negara lain. Ia tak berwajah, tak bersenjata, tapi mematikan. Yang dianggap musuh itu adalah "mikroba", dan saat ia menjadi resistan, ia menjadi ancaman global: Antimicrobial Resistance (AMR).
Indonesia tidak tinggal diam. Ada strategi nasional, pedoman klasifikasi antibiotik (Access–Watch–Reserve), hingga peringatan keras tentang bahaya penggunaan antibiotik tanpa kendali. Tapi seperti banyak strategi di atas kertas, tak semuanya bertahan di medan lapangan.
Dan medan itu adalah Puskesmas.
Formularium Daerah: Ketika "Senjata" Bocor ke Garda Terdepan
Sebuah studi di salah satu kabupaten padat penduduk di barat Jakarta pada 2023 membuka fakta mengejutkan. Lebih dari sepertiga resep obat di Puskesmas tidak sesuai dengan Formularium Nasional (Fornas). Yang paling mengkhawatirkan, dua antibiotik kategori Watch, yang seharusnya hanya digunakan terbatas di rumah sakit oleh dokter spesialis, malah muncul di resep Puskesmas.
Bagaimana bisa?
Ternyata, obat-obat tersebut sudah “disahkan” dalam Formularium Daerah. Legal secara administratif, tapi secara sistemik, itu seperti membuka jalan bagi mikroba resistan tumbuh subur di lini depan sistem kesehatan kita.
“Kebutuhan Lapangan” Vs Strategi Nasional
Alasan yang sering terdengar: “dokternya minta”, “pasien ingin cepat sembuh”, “kami cuma ikut RKO”, “persaingan dengan klinik swasta”. Dan akhirnya: “dinas kesehatan hanya memfasilitasi”. Tak ada yang peduli dan menyebut resistensi. Tak ada yang mengingat bahwa setiap resep antibiotik yang keluar tanpa indikasi kuat adalah amunisi kosong yang bisa memperkuat musuh.
Negara (Tidak) Hadir
Ironisnya, pengawasan nyaris tak ada. Sosialisasi Fornas? Hampir nihil. Pelatihan dan audit? Tidak tuntas. Evaluasi rutin? Tidak berjalan. Di beberapa daerah, status BLUD malah jadi celah. Puskesmas bisa membeli obat di luar Fornas dengan dalih fleksibilitas, tanpa kontrol terhadap dampaknya terhadap resistensi antimikroba.
Saat Penjaga Gerbang Tak Dipersenjatai
Apoteker, sebagai penjaga terakhir rantai penyediaan obat, nyatanya juga sering kali tak dilengkapi pemahaman memadai. Survei menunjukkan hanya 50,95% apoteker tahu tentang Fornas. Bahkan sebagian menolak mengakui bahwa mereka menggunakan antibiotik kategori Watch, meski bukti dokumen menunjukkan sebaliknya. Apa jadinya jika “pasukan” ini bertempur tanpa pelatihan dan tanpa peta strategi?
Sementara Itu, Mikroba Tertawa
Di ruang-ruang pertemuan nasional, para ahli bicara soal stewardship, klasifikasi antibiotik, dan ancaman resistensi. Tapi di lapangan, Puskesmas tetap jadi ladang tempat antibiotik dikeluarkan tanpa kendali.
Mikroba tahu. Mereka menunggu. Mereka tertawa. Karena mereka tahu bahwa negara ini lebih sibuk membuat dokumen daripada memastikan implementasinya. Lebih rajin berkhotbah di forum pusat daripada mengawasi apa yang terjadi di garda terdepan.
Pertanyaan Terbuka
Jika antibiotik Watch kini dilegalkan dalam Formularium Daerah, dan digunakan bebas di Puskesmas, untuk siapa sebenarnya pedoman nasional itu dibuat? Dan yang lebih penting: siapa yang akan bertanggung jawab ketika mikroba akhirnya menang?
Catatan FIB:
Sebagai Komunitas Profesional dan Ilmiah kefarmasian, kita tak boleh diam. Ini saatnya menagih akuntabilitas regulasi dan memperjuangkan sistem distribusi antibiotik yang aman, adil, dan terkendali, dari pusat sampai desa. Resistensi tidak akan menunggu kita siap.
#FIBMenulis #AMR #FarmasiKomunitas #FormulariumNasional #AntibiotikBijak