Komparasi Peran Apoteker Komunitas dalam Sistem Kesehatan Nasional: Studi Kasus Indonesia vs. Inggris
Memandang Peradaban Lain


Dalam konteks layanan kesehatan primer, apoteker komunitas memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam pemberian pelayanan obat dan konsultasi kepada masyarakat. Namun, posisi strategis mereka dalam sistem kesehatan nasional sangat dipengaruhi oleh kebijakan, regulasi, dan sistem pendanaan yang berlaku. Artikel ini membandingkan secara komprehensif positioning apoteker komunitas di Indonesia dan Inggris, menyoroti perbedaan kebijakan, peran klinis, hingga tantangan implementatif.
1. Regulasi dan Kebijakan: Landasan yang Membedakan
Indonesia
Praktik kefarmasian diatur dalam Permenkes No. 73 Tahun 2016, yang mencakup pelayanan klinis seperti konseling, pemantauan terapi obat (PTO), dan pelaporan efek samping obat (MESO). Namun, peran apoteker masih didominasi oleh tugas dispensing (penyerahan obat), dengan ruang klinis yang terbatas dan tanpa kewenangan untuk meresepkan obat. Integrasi dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih minim; layanan farmasi di apotek belum mendapat pendanaan khusus dari BPJS Kesehatan.
Inggris
Sebaliknya, Inggris menerapkan Community Pharmacy Contractual Framework (CPCF) 2019–2024 yang mendanai layanan apoteker komunitas sebesar £13 miliar. Apoteker diberdayakan untuk memberikan layanan klinis seperti vaksinasi, konsultasi penyakit ringan (Pharmacy First), dan medication review. Mereka juga memiliki kewenangan untuk meresepkan obat secara mandiri (independent prescribing) setelah mengikuti pelatihan, dan menjadi bagian integral dari tim layanan primer dalam Primary Care Networks (PCNs).
2. Ruang Lingkup Layanan: Dari Obat ke Perawatan Pasien
Dalam membandingkan praktik apoteker komunitas di Indonesia dan Inggris, terlihat adanya perbedaan mendasar dalam pendekatan peran dan kewenangan profesi apoteker, terutama dalam konteks layanan klinis dan dukungan sistemik.
Di Indonesia, peran apoteker masih sangat terkonsentrasi pada aktivitas dispensing atau penyerahan obat, yang berbasis prinsip FIFO (First In, First Out) dan FEFO (First Expired, First Out). Kegiatan ini menjadi fungsi utama di apotek, sementara layanan klinis seperti konseling, pemantauan terapi obat (PTO), dan pelaporan efek samping obat (MESO) masih bersifat terbatas, belum menjadi layanan utama yang terstruktur secara sistemik maupun finansial.
Sebaliknya, di Inggris, dispensing dianggap sebagai layanan dasar, bukan fokus utama dari peran apoteker komunitas modern. Apoteker di sana menjalankan fungsi yang jauh lebih strategis melalui skema seperti Pharmacy First, vaksinasi rutin, serta layanan lanjutan seperti medication review dan program deprescribing, yang telah menjadi bagian integral dari sistem layanan primer.
Dalam hal prescribing atau pemberian resep, apoteker di Indonesia belum diberikan kewenangan untuk meresepkan, bahkan untuk obat-obat non-resep atau kondisi minor. Sementara itu, di Inggris, apoteker yang telah mengikuti pelatihan Independent Prescribing diberi kewenangan penuh untuk meresepkan obat-obatan tertentu, khususnya untuk kondisi umum seperti faringitis, cystitis, atau dispepsia.
Pendekatan terhadap layanan preventif dan skrining juga menunjukkan ketimpangan. Di Indonesia, apoteker berperan dalam edukasi kesehatan dasar seperti penyuluhan gaya hidup sehat. Sementara di Inggris, apoteker berperan aktif dalam skrining kesehatan seperti tekanan darah, kolesterol, program berhenti merokok, bahkan deteksi dini diabetes dan penyakit jantung, yang seluruhnya didukung oleh sistem kesehatan nasional.
Terakhir, dalam hal akses data pasien, Indonesia masih menghadapi tantangan besar akibat tidak adanya integrasi antara apotek dengan sistem BPJS Kesehatan, sehingga informasi terapi tidak dapat dimonitor secara menyeluruh. Berbeda halnya dengan Inggris, di mana apoteker memiliki akses penuh terhadap rekam medis pasien melalui sistem NHS, memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih tepat, cepat, dan aman.
3. Integrasi dalam Layanan Kesehatan Primer
Indonesia
Apoteker belum diakui sebagai bagian formal dari layanan primer dalam skema JKN. Kolaborasi dengan dokter masih terbatas, dan pelaporan cenderung administratif, seperti pelaporan obat kadaluwarsa, tanpa kontribusi langsung pada pengambilan keputusan klinis.
Inggris
Sebaliknya, apoteker merupakan anggota kunci dalam PCNs dan bekerja sama erat dengan dokter umum (GP) dalam mengelola penyakit kronis serta layanan preventif. Contohnya, program Pharmacy First berhasil mengurangi beban GP hingga 20% dalam menangani kasus minor.
4. Pendanaan dan Insentif: Siapa yang Menghargai Layanan Klinis Apoteker?
Dalam konteks pembiayaan layanan farmasi, sistem di Indonesia dan Inggris menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok, terutama dalam hal sumber pendanaan, skema remunerasi, dan mekanisme insentif kinerja bagi apoteker komunitas.
Di Indonesia, mayoritas pendapatan apoteker komunitas, sekitar 85%, masih bergantung pada margin penjualan obat. Artinya, keberlangsungan layanan farmasi sangat ditentukan oleh volume penjualan, bukan oleh kontribusi apoteker terhadap hasil klinis pasien. Hal ini menyebabkan minimnya insentif untuk memberikan layanan profesional berbasis klinis, seperti konseling mendalam, medication review, atau skrining kesehatan.
Sebaliknya, di Inggris, seluruh layanan apotek dibiayai secara penuh oleh National Health Service (NHS) melalui skema Community Pharmacy Contractual Framework (CPCF). Skema ini memberikan kepastian pendanaan untuk layanan farmasi dan mengalihkan orientasi praktik apoteker dari bisnis berbasis produk ke pelayanan berbasis pasien.
Dalam hal remunerasi layanan klinis, Indonesia belum memiliki skema fee-for-service. Tidak ada pembayaran khusus untuk aktivitas seperti konsultasi minor, pemantauan terapi obat, atau penyesuaian regimen pengobatan. Di sisi lain, Inggris menyediakan kompensasi yang jelas dan terstruktur: konsultasi untuk kondisi minor dalam program Pharmacy First dihargai sekitar £15–£17 per kunjungan, sementara layanan medication review seperti Structured Medication Review (SMR) mendapatkan pembayaran hingga £222,77 per pasien.
Dari sisi insentif kinerja, apotek di Indonesia umumnya hanya menjalani evaluasi administratif, seperti pelaporan kegiatan atau kepatuhan terhadap regulasi. Tidak terdapat mekanisme penghargaan yang mengaitkan kinerja apoteker dengan outcome klinis pasien. Sebaliknya, Inggris menerapkan sistem Quality Payments yang berbasis hasil klinis, di mana apotek menerima insentif tambahan jika berhasil mencapai target-target spesifik seperti peningkatan kepatuhan pasien, pengurangan kesalahan pengobatan, atau peningkatan cakupan vaksinasi.
Secara keseluruhan, sistem Inggris menunjukkan bahwa ketika pendanaan, remunerasi, dan insentif diarahkan untuk mendorong layanan klinis, apoteker komunitas dapat memainkan peran signifikan dalam sistem kesehatan, tidak hanya sebagai penyedia obat, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam manajemen kesehatan masyarakat.
5. Tantangan di Lapangan
Indonesia
Hambatan utama adalah keterbatasan regulasi, tidak adanya insentif layanan klinis, serta kurangnya kehadiran apoteker di apotek, hanya sekitar 10% apotek yang dikelola langsung oleh apoteker. Tidak adanya integrasi dengan sistem informasi BPJS juga menghambat kontribusi apoteker dalam pengelolaan pasien secara menyeluruh.
Inggris
Meskipun sistem lebih maju, tantangan tetap ada, seperti variasi implementasi antar wilayah dan beban administratif pelaporan kinerja yang cukup tinggi.
6. Arah Pengembangan dan Rekomendasi
Untuk Indonesia:
Perlu revisi Permenkes agar membuka peluang prescribing terbatas dalam sistem kolaboratif.
Integrasi apoteker dalam sistem rujukan JKN dengan skema fee-for-service berbasis layanan klinis.
Penegakan regulasi kehadiran apoteker di apotek untuk meningkatkan mutu layanan.
Untuk Inggris:
Perluasan peran prescribing untuk kondisi kronis yang lebih kompleks.
Peningkatan pendanaan untuk layanan kesehatan mental yang dapat diberikan oleh apoteker.
Kesimpulan: Dua Jalur, Satu Tujuan
Perbandingan ini menunjukkan bahwa apoteker komunitas di Inggris telah mengambil peran strategis sebagai penyedia layanan kesehatan primer, lengkap dengan wewenang klinis, dukungan sistem digital, dan pendanaan yang jelas. Di sisi lain, apoteker di Indonesia masih terkendala dalam ranah regulasi dan sistem pembiayaan, yang membatasi potensi mereka untuk berkontribusi lebih luas dalam pencapaian tujuan kesehatan nasional.
Perlu reformasi sistemik dan politik kesehatan agar apoteker di Indonesia dapat dioptimalkan sebagai mitra strategis dalam layanan primer, bukan hanya sebagai pelengkap dalam rantai distribusi obat.