Dari Penjaga Obat Menjadi Garda Terdepan: Analisis Krisis Regulasi dan Masa Depan Profesi Apoteker di Indonesia

Memikirkan Kewarasan

apt. Ismail, S.Si (Presidium Nasional FIB)

9/26/20255 min read

Pendahuluan

Profesi apoteker di Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, Undang-Undang Kesehatan terbaru memberikan harapan besar untuk transformasi peran apoteker menjadi lebih klinis dan mandiri. Di sisi lain, warisan regulasi dan kebijakan turunan yang inkonsisten justru menarik profesi ini mundur, mengerdilkan perannya menjadi sekadar tenaga administratif. Analisis ini mengupas bagaimana cara pandang regulator dari masa ke masa telah membentuk krisis definisi dan kewenangan apoteker, yang pada akhirnya mempertaruhkan mutu layanan kesehatan dan keselamatan pasien di Indonesia.

1. Warisan Regulasi: Jejak Panjang Degradasi PROFESI Apoteker

Perjalanan profesi apoteker dalam regulasi Indonesia adalah sebuah cerita tentang pergeseran paradigma, dari pengakuan penuh sebagai profesional kesehatan hingga reduksi peran menjadi tenaga teknis.

  • Era "Keemasan" (UU No. 6/1963): Pada masa ini, apoteker diakui setara dengan dokter sebagai tenaga kesehatan berpendidikan sarjana. Kewenangan mereka di bidang kefarmasian penuh dan statusnya sebagai profesi independen sangat dihargai.

  • Pergeseran ke Peran Administratif (PP No. 41/1990): Definisi apoteker mulai bergeser menjadi administratif, yakni "sarjana farmasi yang lulus dan bersumpah." Fokusnya adalah pada pekerjaan teknis seperti pengadaan dan penyerahan obat, menempatkan apoteker sebagai tenaga pendukung, bukan mitra klinis setara. Pandangan sebagai "penjaga gudang obat" mulai terbentuk di sini.

  • Titik Awal Degradasi Sistematis (PP No. 51/2009): Regulasi ini menjadi titik balik kemunduran. Definisi apoteker yang murni administratif, tanpa menyebutkan kewenangan atau kompetensi klinis, membuka ruang bagi tenaga non-apoteker untuk masuk dalam praktik kefarmasian. Pengakuan terhadap apoteker sebagai tenaga kesehatan sarjana yang memiliki otoritas profesional mulai terkikis secara signifikan.

2. Krisis Regulasi Saat Ini: Paradoks UU Kesehatan dan Puncak Pengerdilan Peran

Harapan akan perbaikan yang muncul bersama UU No. 17 Tahun 2023 ternyata berhadapan dengan tembok peraturan pelaksana yang kontradiktif. UU Kesehatan yang baru sebenarnya membuka pintu harapan dengan memberikan pengakuan implisit yang lebih kuat, seperti kewenangan menyerahkan obat tertentu tanpa resep. Namun, harapan ini seolah dipadamkan oleh peraturan pelaksananya, Permenkes No. 17 Tahun 2024, yang justru menjadi puncak pengerdilan profesi.

Regulasi turunan ini menciptakan anomali serius:

  1. Paradoks Supervisi: Permenkes mendefinisikan "Tenaga Vokasi Farmasi" (lulusan D3) sebagai pelaksana utama praktik kefarmasian, sementara Apoteker (lulusan S1+Profesi) perannya direduksi menjadi sebatas supervisor. Ini adalah logika yang terbalik, bertentangan dengan hierarki pendidikan dan kompetensi global.

  2. Distorsi Pasar Kerja: Kebijakan ini secara tidak langsung menciptakan pasar kerja yang lebih baik bagi lulusan D3 daripada S1+Profesi, sebuah anomali dalam dunia pendidikan tinggi yang dapat menurunkan minat pada pendidikan apoteker.

Akar masalahnya bukanlah UU No. 17/2023 itu sendiri, melainkan ketidakkonsistenan antara semangat undang-undang induk dengan peraturan teknis di bawahnya. Ini menggambarkan kurangnya pemahaman regulator tentang Profesi Apoteker dan fungsi serta peran strategisnya dalam ekosistem kesehatan modern.

3. Dampak Nyata bagi Masyarakat: Menurunnya Mutu Layanan dan Keselamatan Pasien

Pengerdilan peran apoteker bukanlah sekadar isu profesi, melainkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dampaknya terasa langsung :

  • Risiko Kesalahan Pengobatan (Medication Error) Meningkat: Tanpa kehadiran apoteker yang kompeten untuk melakukan telaah resep dan konseling, risiko kesalahan dosis, interaksi obat, dan efek samping berbahaya meningkat drastis.

  • Masyarakat tidak menyadari keberadaan Apoteker : Mayoritas masyarakat tidak menyadari fungsi profesional Apoteker sebagai Konsultan terdekat dalam farmakoterapi.

  • Akses Terbatas, Distribusi Timpang: Rasio apoteker di Indonesia (1:2.134) masih jauh dari standar ideal WHO (1:1.000). Regulasi yang ada gagal memberikan insentif untuk pemerataan distribusi apoteker ke daerah-daerah terpencil.

  • Pengembangan Farmasi Klinis Terhambat: Indonesia semakin tertinggal dalam pengembangan layanan farmasi klinis yang berfokus pada hasil terapi pasien, seperti manajemen penyakit kronis dan optimalisasi pengobatan.

4. Jalan Keluar: Belajar dari Praktik Global dan Rekomendasi Kebijakan Konkret

Indonesia tidak perlu memulai dari nol. Negara-negara seperti Inggris dan Singapura telah membuktikan bahwa memberdayakan apoteker secara maksimal dapat meningkatkan mutu layanan, menekan biaya kesehatan, dan meningkatkan kepuasan pasien.

Pelajaran Kunci dari Inggris dan Singapura:

  • Skema Pharmacy-First: Apoteker diberi kewenangan mendiagnosis dan menangani penyakit ringan (minor ailments), berhasil mengurangi beban dokter umum hingga 10 juta konsultasi per tahun di Inggris.

  • Manajemen Penyakit Kronis: Apoteker secara aktif me-review pengobatan, menyesuaikan dosis, dan melakukan deprescribing (menghentikan obat yang tidak perlu), yang terbukti menurunkan angka rawat inap terkait obat.

  • Vaksinasi & Skrining di Apotek: Apoteker menjadi ujung tombak program vaksinasi dewasa dan skrining penyakit, yang secara signifikan meningkatkan cakupan kesehatan preventif.

Menindaklanjuti model sukses ini, dan sejalan dengan advokasi yang telah disampaikan oleh Perkumpulan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) kepada Presiden, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang dapat diimplementasikan secara bertahap:

Rekomendasi Perluasan Kewenangan Apoteker di Indonesia:

  1. Skema Minor Ailment & Pharmacy-First

    • Tindakan Konkret: Revisi Permenkes 74/2016 untuk menambahkan daftar 10-15 kondisi minor yang dapat didiagnosis dan diobati oleh apoteker sesuai protokol Standar Prosedur Klinis. Terbitkan Kepmenkes tentang “Patient Group Directions” (PGD) yang mengizinkan apoteker menyalurkan antibiotik/topikal terpilih.

    • Target Implementasi: 2025-2026.

  2. Preskripsi Kolaboratif/Independen Bertahap

    • Tindakan Konkret:

      • Bentuk skema “Apoteker Prescriber Terbatas” (APT) melalui pendidikan tambahan 6–9 bulan.

      • Susun MoU tripartit (Puskesmas–Apoteker–Dokter Koordinator) sesuai UU 17/2023 Pasal 154 untuk kewenangan delegatif, dengan target penanganan penyakit kronis stabil.

      • Tahun 2028, lakukan evaluasi untuk kemungkinan perluasan ke independent prescribing.

    • Target Implementasi: 2027-2028.

  3. Medication Review & Deprescribing Mandatori

    • Tindakan Konkret:

      • Integrasikan “Structured Medication Review” ke sistem kapitasi BPJS Kesehatan, dengan insentif Rp15.000/review.

      • Wajibkan apoteker komunitas untuk mengirim hasil review ke SATUSEHAT, disinkronkan dengan rekam medis Puskesmas.

    • Target Implementasi: 2027-2028.

  4. Vaksinasi & Skrining Komunitas

    • Tindakan Konkret:

      • Terbitkan peraturan bersama Dirjen Kefarmasian dan P2P yang mengizinkan apoteker terlatih memberikan vaksin influenza, HPV, dengue, serta melakukan rapid test gula dan kolesterol.

      • Puskesmas membentuk jejaring “pos vaksin farmasi” di desa/kelurahan.

    • Target Implementasi: 2025-2026.

  5. Digitalisasi Rujukan (Digital Referral) & Telepharmacy

    • Tindakan Konkret: Bangun modul “e-Referral Apotek” di SATUSEHAT, meniru CPCS agar dokter/PPK 1 dapat mengalihkan kasus minor dan resep berulang ke apotek, termasuk telekonsultasi video.

    • Target Implementasi: 2027-2028.

  6. Indikator Mutu & Pembiayaan

    • Tindakan Konkret: Tetapkan indikator capaian dengan target yang jelas, misalnya 30% episode ISPA/diare ringan selesai di apotek (target 2030), atau 20% populasi Puskesmas dengan HTN/DM stabil dititrasi oleh apoteker. Sumber dana dapat berasal dari kapitasi BPJS, tarif INA-CBG Pharmacy-First, paket APT-Chronic Care, insentif review, atau Dana Alokasi Khusus (DAK) Preventif.

    • Target Implementasi: Berkelanjutan hingga 2030.

Tahapan Implementasi:

  • 2025–2026: Revisi Permenkes 74/2016 dan terbit Kepmenkes PGD; piloting di 10 kabupaten "Pharmacy-First Puskesmas."

  • 2027–2028: Implementasi Skema APT dan modul e-Referral; integrasi klaim BPJS Kesehatan.

  • 2029–2030: Evaluasi independen; ekspansi nasional, sinkronisasi Standar Kompetensi Apoteker 2030.

Dengan menyandingkan best-practice Inggris dan Singapura, Indonesia dapat menggeser tugas farmasis komunitas dari sekadar “tukang obat” menjadi penyedia layanan klinis garis depan. Revisi regulasi, sertifikasi kewenangan, insentif finansial, dan integrasi data adalah empat kunci agar transformasi pilar pelayanan primer, sebagaimana diamanatkan Permenkes 19/2024 menjadi nyata di lapangan.

Kesimpulan: Mendesaknya Perubahan Paradigma Regulator

Regulator dan pembuat kebijakan Indonesia terlihat masih terjebak dalam paradigma lama yang memandang apoteker sebagai manajer produk obat (drug-oriented), bukan sebagai seorang klinisi yang bertanggung jawab atas hasil terapi pasien (patient-oriented). Cara pandang yang tertinggal ini menjadi penghalang terbesar dalam transformasi sistem kesehatan.

Indonesia tidak boleh lagi tertinggal. Sudah saatnya regulator melakukan reformasi kebijakan yang berani dengan mempertegas definisi dan kewenangan klinis apoteker dalam peraturan turunan yang sejalan dengan semangat UU Kesehatan. Mengintegrasikan apoteker secara penuh ke dalam tim kesehatan adalah langkah strategis untuk meningkatkan mutu layanan, menjamin keselamatan pasien, dan mewujudkan sistem kesehatan yang adil dan efisien. Tanpa perubahan ini, potensi besar apoteker sebagai garda terdepan kesehatan akan selamanya terkubur di bawah tumpukan regulasi yang usang.