Belajar dari Inggris: Sistem Remunerasi yang Fair Bisa Mengangkat Peran Apoteker Komunitas
Dibayar itu harus


Sistem remunerasi atau kompensasi yang diterima oleh tenaga kesehatan, khususnya apoteker, memainkan peran penting dalam mendorong transformasi layanan farmasi klinis. Perbandingan antara Inggris dan Indonesia menunjukkan perbedaan yang mencolok, baik dari sisi model pembayaran maupun dampaknya terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Inggris: Insentif Jelas, Peran Apoteker Makin Kuat
Di Inggris, apoteker komunitas dan klinik mendapat pendanaan utama dari National Health Service (NHS), sistem kesehatan nasional yang solid dan terintegrasi. Pemerintah Inggris bahkan mengalokasikan dana hingga £3 miliar untuk memperkuat peran klinis apoteker, khususnya dalam mengurangi beban dokter umum melalui program Pharmacy First.
Apoteker di Inggris tidak hanya menerima gaji tetap, tetapi juga insentif berbasis layanan. Misalnya, apotek dapat memperoleh pembayaran bulanan untuk layanan konsultasi penyakit minor (sekitar £15–£17 per konsultasi), serta insentif untuk layanan skrining kesehatan, vaksinasi, dan kontrasepsi. Rata-rata gaji apoteker klinik berkisar antara £40.000–£55.000 per tahun, dan bisa lebih tinggi untuk posisi senior.
Dengan sistem yang berbasis layanan dan hasil (outcome-based), apoteker di Inggris terdorong aktif memberikan layanan farmasi klinis seperti konseling penyakit minor, manajemen penyakit kronis, hingga monitoring penggunaan obat. Pendanaan yang stabil juga memungkinkan peningkatan kompetensi tim, penggunaan teknologi digital, dan integrasi dengan rekam medis pasien.
Indonesia: Remunerasi Masih Berbasis Penjualan Obat
Berbeda dengan Inggris, sistem remunerasi apoteker di Indonesia umumnya masih bergantung pada gaji tetap dan margin penjualan obat. Di rumah sakit pemerintah, meskipun ada skema jasa pelayanan, porsi untuk apoteker sangat kecil hanya sekitar 2,4% di rumah sakit kelas D.
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan belum mengalokasikan pembayaran untuk layanan farmasi klinis di apotek komunitas. Akibatnya, mayoritas pendapatan apoteker masih berasal dari penjualan obat, bukan dari jasa profesional apoteker.
Kondisi ini membuat pengembangan layanan farmasi klinis seperti konsultasi, skrining kesehatan, atau monitoring terapi di apotek menjadi kurang optimal. Meskipun ada regulasi terkait pelaporan mutu dan evaluasi layanan, tanpa dukungan finansial yang memadai, pelaksanaannya belum maksimal.
"Tanpa sistem remunerasi yang menghargai layanan klinis, apoteker akan terus diposisikan sebagai penjaga toko, bukan sebagai penyedia layanan kesehatan." Presidium Nasional FIB
Kesimpulan
Sistem remunerasi berbasis layanan dan hasil, seperti yang diterapkan di Inggris, terbukti mendorong optimalisasi peran apoteker komunitas dalam sistem kesehatan primer. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi apoteker sebagai tenaga kesehatan profesional, tetapi juga meningkatkan akses, kualitas, dan efisiensi layanan bagi masyarakat.
Sebaliknya, di Indonesia, sistem remunerasi yang belum mengapresiasi jasa klinis apoteker menjadi hambatan utama dalam pengembangan layanan farmasi klinis. Tanpa dukungan kebijakan dan skema pembiayaan yang tepat, apoteker sulit untuk memainkan peran optimal dalam mendukung transformasi layanan primer dan pencapaian Universal Health Coverage (UHC).
Sudah saatnya Indonesia meninjau ulang sistem pembiayaan kesehatan dan membuka ruang bagi skema remunerasi berbasis layanan bagi apoteker komunitas. Dukungan dari pemerintah, BPJS Kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci untuk mendorong transformasi ini secara berkelanjutan.