Apoteker: Sekadar Pelaksana Resep atau Mitra Pengambil Keputusan? Sebuah Tinjauan Komparatif Praktik di Indonesia dan Belanda

Komparasi Kewarasan

apt. Ismail, S.Si (Presidium Nasional FIB)

10/23/20253 min read

Setiap kali kita menerima resep, kita bertemu dengan apoteker. Namun, apakah peran mereka di seluruh dunia sama? Pengalaman pasien di Indonesia dan Belanda menunjukkan dua realitas yang sangat berbeda. Di Indonesia, apoteker umumnya berperan sebagai "eksekutor" yang reaktif, melaksanakan keputusan yang telah dibuat dokter. Sebaliknya, di Belanda, apoteker telah berevolusi menjadi "mitra pengambil keputusan" (co-decision maker) yang proaktif dalam tim layanan kesehatan.

Perbandingan ini bukan sekadar perbedaan gaya kerja, tetapi refleksi dari paradigma sistem kesehatan, regulasi, dan pendidikan yang secara fundamental berbeda.

Model Indonesia: Kepatuhan dalam Alur Hierarkis

Di Indonesia, praktik kefarmasian diatur oleh kerangka hukum yang menempatkan apoteker dalam model yang reaktif dan berurutan (sequential-hierarchical). Regulasi yang sudah tidak berlaku tapi masih berpengaruh kuat pada regulasi baru seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2009 dan Permenkes No. 9 Tahun 2017 menetapkan alur kerja yang jelas: dokter mendiagnosis dan membuat keputusan terapi, lalu apoteker melaksanakan keputusan tersebut.

Karakteristik utama model ini adalah:

  1. Ketergantungan pada Resep: Apoteker bertindak setelah keputusan terapi dibuat. Fokus utamanya adalah memastikan penyerahan obat keras, narkotika, dan psikotropika sesuai dengan resep yang sah.

  2. Wewenang Modifikasi Terbatas: Apoteker tidak memiliki otonomi untuk mengubah terapi secara independen. Jika ditemukan masalah pada resep (misalnya, dosis keliru atau potensi interaksi), apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter. Namun, jika dokter tetap pada pendiriannya, apoteker wajib melayani (setelah konfirmasi) atau menolak resep secara tertulis. Penggantian obat merek dagang ke generik pun memerlukan persetujuan dokter atau pasien.

  3. Pelayanan Pasca-Keputusan: Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian, seperti konseling dan monitoring, dilakukan setelah obat diresepkan. Intervensi apoteker cenderung bersifat korektif (memperbaiki kesalahan) daripada preventif (mencegah masalah sejak awal).

Identitas profesional yang terbentuk adalah sebagai "penjaga gerbang" (gatekeeper) keamanan produk obat (bukan rasionalitas dan efektifitas penggunaan obat dalam terapi) dan "pelaksana" (executor) keputusan medis. Fokus utamanya adalah kepatuhan teknis dan akurasi dispensing.

Model Belanda: Kolaborasi dalam Alur Terintegrasi

Belanda menyajikan model yang kontras: proaktif-kolaboratif. Apoteker di sana terintegrasi penuh dalam tim layanan primer, sering kali bekerja di lokasi yang sama atau sangat dekat dengan dokter (General Practitioners/GPs). Mereka berfungsi sebagai mitra klinis.

Karakteristik utama model ini adalah:

  1. Partisipasi dalam Proses Terapi: Apoteker Belanda terlibat aktif selama proses pengambilan keputusan. Dalam beberapa praktik, apoteker bahkan menulis draf resep yang kemudian diotorisasi oleh dokter. Mereka secara rutin melakukan penilaian manfaat-risiko (benefit-risk assessment) sebelum opsi terapi diputuskan.

  2. Penalaran Klinis (Clinical Reasoning): Sebelum menyerahkan obat, apoteker di Belanda dilatih untuk bertanya pada diri sendiri, "Bisakah saya mempertanggungjawabkan penyerahan obat ini?" Mereka secara independen mengidentifikasi masalah pasien, memetakan semua opsi terapi yang mungkin, dan menggunakan penilaian klinis mereka.

  3. Pengambilan Keputusan Bersama: Apoteker memiliki otonomi profesional yang substansial. Mereka secara kolaboratif memutuskan tindakan terbaik bersama dokter dan pasien. Dalam Clinical Medication Reviews (CMR), apoteker meninjau seluruh obat pasien, mengidentifikasi rata-rata 5 masalah terkait obat (MTO) per pasien, di mana 83% rekomendasinya diterima dan diimplementasikan oleh dokter.

Alur kerja ini bersifat terintegrasi. Apoteker ikut menciptakan rencana terapi sejak awal. Identitas profesional mereka adalah sebagai "praktisi klinis otonom" dan "mitra" yang berfokus pada hasil terapi pasien (patient outcome).

Mengapa Perbedaan Ini Terjadi?

Tiga faktor utama menjelaskan kesenjangan paradigma antara kedua negara:

  1. Pendidikan dan Pelatihan: Apoteker di Belanda menjalani program pelatihan pascasarjana berbasis tempat kerja (workplace-based training) selama 15 bulan yang intensif. Kurikulum ini fokus pada kebutuhan pasien, keterampilan konsultasi, dan penalaran klinis. Sebaliknya, pendidikan di Indonesia secara historis lebih fokus pada ilmu farmasi (pharmaceutical sciences) dan teknis dispensing, dengan kurikulum farmakoterapi klinis yang relatif baru.

  2. Struktur dan Kultur Kolaborasi: Di Belanda, integrasi fisik apoteker dalam praktik dokter umum menumbuhkan kultur kolaborasi yang tinggi, didukung oleh kepercayaan timbal balik. Diskusi informal "di lorong" atau saat rehat kopi menjadi sarana penting untuk menyelaraskan keputusan. Di Indonesia, apotek umumnya terpisah secara fisik dari praktik dokter, dan kultur profesional masih cenderung hierarkis, dengan dokter sebagai pembuat keputusan utama.

  3. Kerangka Regulasi: Regulasi di Indonesia (seperti UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023) memberikan batasan yang sangat ketat pada wewenang apoteker dan memberlakukan sanksi pidana berat untuk pelanggaran. Di Belanda, meskipun secara formal tidak memiliki hak meresepkan penuh, lingkungan regulasi yang fleksibel mendukung "peresepan kolaboratif de facto," di mana praktik apoteker menulis resep untuk diotorisasi dokter telah diterima secara luas.

Dampak Nyata pada Perawatan Pasien

Perbedaan pendekatan ini memiliki implikasi langsung pada hasil perawatan pasien. Model "Utamakan Keamanan" di Indonesia sangat baik dalam mengontrol penyalahgunaan obat dan memastikan akuntabilitas. Namun, keterbatasannya adalah potensi masalah terkait obat (MTO) terlambat teridentifikasi (pasca-dispensing) dan kompetensi klinis apoteker menjadi kurang termanfaatkan secara optimal.

Model "Optimalisasi Hasil" di Belanda menunjukkan dampak yang terukur secara signifikan. Studi menunjukkan bahwa keterlibatan apoteker klinis yang proaktif di layanan primer mengurangi rawat inap terkait obat sebesar 68%. Selain itu, 78% masalah terapi obat yang diidentifikasi apoteker berhasil diselesaikan setelah rekomendasi mereka diimplementasikan.

Kesimpulan: Sebuah Arah Evolusi

Perbandingan ini menunjukkan bahwa peran apoteker bukanlah entitas yang statis. Indonesia mengadopsi model reaktif-eksekutif yang berfokus pada keamanan produk, sementara Belanda mengadopsi model proaktif-kolaboratif yang berfokus pada hasil klinis pasien.

Transisi dari pelaksana teknis menjadi mitra klinis tidak terjadi dalam semalam. Ia memerlukan transformasi sistemik pada pendidikan, regulasi, dan kultur profesional. Model Belanda, dengan bukti terukur dalam meningkatkan keselamatan pasien dan mengurangi biaya rawat inap, menawarkan cetak biru berbasis bukti bagi evolusi peran apoteker di Indonesia.