Apotek yang Tak Lagi Punya Apoteker: Skandal Sistemik Bernama Apotek Plasma

Menguji Kewarasan

apt. Ilham Hidayat, S.Si. (Presidium Nasional FIB)

7/18/20252 min read

Apotek adalah tempat praktik apoteker. Tapi bagaimana jika apoteknya ada, tapi apotekernya tergantikan profesi lain?"

Prolog: Di Balik Kata 'Plasma'

Dalam dunia biologi, plasma adalah komponen cair darah yang membawa zat penting ke seluruh tubuh. Tapi dalam dunia kebijakan kesehatan kita, 'Plasma' adalah nama lain dari degradasi profesi apoteker yang dibungkus jargon kemandirian desa. Juknis Apotek Desa/Kelurahan Percontohan 2025 telah meresmikan lahirnya entitas baru bernama Apotek Plasma. Ia sah beroperasi sebagai apotek, tapi tanpa kehadiran apoteker di lokasi. Maka, mulai hari ini, jangan heran jika di suatu desa Anda temukan apotek yang dikelola oleh tenaga non-apoteker, dan itu legal.


Antara Niat Baik dan Desain Buruk

Kita tidak bisa menolak niat baik negara untuk memperluas akses obat sampai ke desa. Itu patut diapresiasi. Namun sayangnya, niat baik ini diiringi oleh desain kebijakan yang secara sistemik melepas keterikatan apotek terhadap apoteker. Alih-alih memperkuat peran profesional apoteker dalam sistem kesehatan primer, Juknis ini justru menciptakan ruang yang semakin menjauhkan apotek dari apotekernya sendiri.

Bagaimana tidak? Apotek Plasma dalam juknis ini:

  • tidak wajib memiliki apoteker di lokasi,

  • dikelola oleh tenaga vokasi farmasi atau bahkan tenaga kesehatan lain,

  • hanya disupervisi secara administratif oleh apoteker dari Apotek Inti,

  • tetap boleh menyerahkan obat, alat kesehatan, bahkan melayani edukasi.

Padahal kita tahu, praktik keapotekeran bukan sekadar urusan menyerahkan obat. Ia adalah praktik profesi, dengan kompetensi, akuntabilitas, dan etika.


Supervisi Atau Sekadar Formalitas?

Kata 'supervisi' di sini menjadi pasal karet. Tidak dijelaskan bentuknya, frekuensinya, atau batas kewenangannya. Apakah cukup lewat WhatsApp? Zoom? Kapan terakhir kali apoteker datang ke lokasi plasma? Dalam praktiknya nanti, bisa jadi Apotek Plasma berjalan seperti 'warung obat bersubsidi', tanpa kontrol mutu atau akuntabilitas etik profesi.

Dan ini menjadi preseden buruk. Ketika negara sendiri mengatur bahwa apotek bisa berjalan tanpa apoteker di tempat, maka:

  • legitimasi sosial profesi apoteker tergerus,

  • masyarakat makin tak tahu beda antara apoteker, tukang obat, dan kasir apotek,

  • dan yang lebih gawat: regulator sulit menindak praktik nonkompeten karena sudah dilegalkan lewat juknis ini.


Distribusi Obat Tanpa Praktik Keapotekeran

Model distribusi obat PRB dari Apotek Inti ke Plasma, lalu diserahkan ke pasien, juga memunculkan pertanyaan hukum:

  • Siapa yang memverifikasi terapi PRB?

  • Siapa yang menjamin penyerahan sesuai standar etik dan klinis?

  • Apakah ini bukan bentuk pengalihan praktik keapotekeran kepada tenaga non-apoteker?

Jika pengawasan hanya berbasis dokumen dan laporan, maka potensi penyalahgunaan, pelanggaran etik, dan penghilangan tanggung jawab profesional menjadi sangat besar.


Apoteker Dikorbankan Demi Sistem

Ironisnya, apoteker tetap diminta untuk menyusun anggaran, membuat laporan, memberi supervisi, dan menjadi penanggung jawab legal apotek plasma. Tapi hak praktiknya justru tidak dijamin di lokasi plasma itu sendiri. Ini seperti menyuruh pilot bertanggung jawab atas pesawat yang dikemudikan teknisi.


Epilog: Ketika Apotek Tak Lagi Melekat pada Apoteker

Apotek Plasma adalah refleksi dari kegagalan sistemik memahami praktik keapotekeran sebagai praktik profesi. Jika negara ingin memperluas layanan, maka profesi apoteker seharusnya diperkuat, bukan disubstitusi. Sebab tanpa apoteker, apotek hanyalah toko obat biasa. Dan jika itu yang terjadi, maka tak perlu lagi kita bicara soal mutu, keselamatan pasien, atau rasionalitas penggunaan obat.

Jangan biarkan apotek kehilangan rohnya. Jangan biarkan apoteker hanya menjadi bayangan administratif. Sebab sekali kita biarkan apotek berjalan tanpa apoteker, maka kita sedang menyaksikan lahirnya era baru: praktik keapotekeran tanpa profesi.