Apotek vs Praktik Dokter: Mengapa Risiko Perizinannya Berbeda?

Perbedaan Perlakuan itu Nyata

apt. Ismail, S.Si (Presidium nasional FIB)

7/25/20254 min read

Dalam dunia pelayanan kesehatan, baik apoteker maupun dokter memegang peran penting yang berdampak langsung terhadap keselamatan pasien. Namun, ketika berbicara soal perizinan usaha berdasarkan risiko melalui sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS RBA), keduanya ternyata diperlakukan secara berbeda.

Apotek dikategorikan sebagai usaha berisiko tinggi, sedangkan praktik dokter umum hanya digolongkan menengah-tinggi. Mengapa perbedaan ini bisa terjadi? Apakah penilaian ini benar-benar adil dan berbasis data? Mari kita telaah bersama.

Apa Itu OSS RBA?

OSS RBA adalah sistem nasional yang mengklasifikasikan setiap jenis usaha berdasarkan tingkat risiko dari lima aspek utama:

  1. Kesehatan

  2. Keselamatan

  3. Lingkungan

  4. Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA)

  5. Aspek sektoral lainnya

Penilaian dilakukan dengan prinsip maximum risk. Artinya, jika salah satu aspek mendapat nilai tertinggi, maka keseluruhan kegiatan usaha diklasifikasikan sebagai risiko tertinggi pula.

Apotek: Mengapa Dikatakan Risiko Tinggi?

Menurut OSS, apotek masuk kategori risiko tinggi karena beberapa alasan:

  • Pengelolaan obat berisiko tinggi seperti narkotika, psikotropika, vaksin cold-chain, hingga high-alert drugs.

  • Kewajiban pelaporan logistik (SIPNAP) yang bila dilanggar dapat berujung pidana.

  • Pengelolaan limbah B3, termasuk kemasan vaksin yang berdampak pada lingkungan dan resistensi antimikroba.

  • Pengawasan multi-instansi seperti Dinkes, BPOM, bahkan Kementerian Kesehatan.

Dari perspektif sistem, satu saja aspek ini dinilai maksimal, maka seluruh usaha apotek langsung dikategorikan sebagai “tinggi”.

Praktik Dokter: Mengapa Lebih Rendah?

Di sisi lain, praktik dokter umum (KBLI 86201) hanya digolongkan sebagai usaha menengah-tinggi. Beberapa alasan yang diajukan:

  • Dokter menangani pasien secara individual, jadi skala risikonya dianggap lebih kecil.

  • Biasanya dokter tidak menyimpan stok obat berisiko tinggi.

  • Limbah medis cenderung terbatas dan dikelola oleh pihak ketiga.

  • Proses verifikasi hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan, tanpa perlu izin tambahan dari BPOM.

Namun, apakah semua ini cukup untuk menyimpulkan bahwa praktik dokter lebih "aman"?

Menelaah Risiko: Lima Aspek yang Jadi Penilaian OSS

Jika ditelaah lebih dalam berdasarkan lima aspek utama OSS, perbedaan klasifikasi antara apotek dan praktik dokter mulai terlihat secara sistemik, meski tetap memunculkan pertanyaan logis.

Pada aspek kesehatan, apotek dinilai memiliki risiko populasi yang tinggi karena menangani obat-obatan keras seperti narkotika dan psikotropika. Apabila terjadi kesalahan, dampaknya bisa menyebar luas, bahkan berskala nasional, terutama dalam konteks penyalahgunaan atau distribusi ilegal. Sebaliknya, risiko kesehatan dalam praktik dokter lebih bersifat individual. Kesalahan diagnosis atau terapi berdampak langsung pada pasien yang bersangkutan, namun tidak meluas secara populatif.

Dari sudut keselamatan, apotek menghadapi risiko paparan terhadap bahan sitotoksik dan keharusan menjaga suhu sediaan tertentu dalam cold-chain yang ketat. Kesalahan dalam penyimpanan bisa mengurangi efektivitas obat dan membahayakan pasien. Praktik dokter, di sisi lain, berisiko dalam prosedur invasif langsung seperti penyuntikan atau penggunaan alat yang menghasilkan aerosol, namun risiko ini umumnya bersifat langsung dan terlokalisasi dalam ruang praktik.

Pada aspek lingkungan, apotek menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), seperti botol sisa obat, kemasan vaksin, dan pelarut kimia. Jika tidak dikelola dengan benar, limbah ini bisa mencemari lingkungan dan mempercepat resistensi antimikroba di masyarakat. Dokter umum pun menghasilkan limbah medis, namun dalam skala yang lebih kecil dan umumnya bersifat infeksius ringan seperti perban bekas atau kapas darah, yang dikelola melalui penyedia jasa limbah medis pihak ketiga.

Dalam hal pemanfaatan sumber daya alam (SDA), apotek memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks. Mereka membutuhkan pasokan listrik 24 jam untuk memastikan stabilitas suhu penyimpanan, serta alat pemantau suhu otomatis yang wajib direkam. Praktik dokter relatif sederhana, cukup dengan peralatan medis dasar dan tidak terlalu bergantung pada sistem pemantauan digital berkelanjutan.

Dan terakhir, pada aspek sektoral, apotek tunduk pada pengawasan lintas instansi: mulai dari SIPNAP untuk pelaporan narkotika, BPOM untuk pengawasan sediaan farmasi, hingga Dinas Kesehatan untuk perizinan dan inspeksi. Praktik dokter hanya diwajibkan memiliki SIMPONI dan sertifikat registrasi sebagai tenaga kesehatan, dengan pengawasan administratif yang lebih sederhana.

Di Balik Angka: Kritik terhadap OSS RBA

1. Generalisasi berlebihan pada Apotek

Apotek kecil ddengan volume rendah tetap harus mematuhi regulasi seketat jaringan apotek nasional. Sistem ini belum mempertimbangkan faktor mitigasi seperti penggunaan teknologi (misalnya robotic dispensing atau IoT cold-chain monitoring) yang sebenarnya bisa menurunkan risiko operasional secara signifikan.

2. Peremehan Risiko Dokter

Praktik dokter tetap bisa melakukan tindakan medis invasif seperti minor surgery atau anestesi lokal. Kesalahan di level ini bisa berakibat serius, tetapi OSS tetap menempatkannya di kelas risiko menengah-tinggi. Selain itu, dokter berperan besar dalam pemberian resep antibiotik, yang bila tidak dikontrol, bisa memicu resistensi mikroba secara luas.

3. Kurangnya Data Risiko Klinik

Penilaian risiko farmasi didukung oleh data nasional (farmakovigilans). Sebaliknya, tidak ada database sentinel harms untuk dokter perorangan. Maka, penilaian terhadap praktik dokter masih banyak mengandalkan asumsi, bukan bukti insiden.

4. Tidak Ada Mekanisme Penurunan Risiko

Apotek yang sudah memenuhi standar mutu, audit zero-finding selama bertahun-tahun, atau mengadopsi teknologi tinggi tetap dianggap berisiko tinggi. Tidak ada reward system atau mekanisme penurunan klasifikasi. Padahal, klinik dokter yang pernah melanggar pun tidak secara otomatis naik ke tingkat risiko yang lebih tinggi.

Dampaknya di Lapangan: Ketimpangan yang Terasa Nyata

Perbedaan klasifikasi risiko antara apotek dan praktik dokter umum bukan hanya soal administrasi di atas kertas. Di lapangan, konsekuensinya sangat nyata dan memengaruhi operasional sehari-hari, beban kepatuhan, serta potensi sanksi hukum.

Dari sisi perizinan, apotek diwajibkan memiliki tiga lapis dokumen: Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Standar yang diverifikasi, dan Izin Operasional yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Seluruhnya harus diajukan dan diproses secara paralel, sering kali melalui sistem berbeda. Bandingkan dengan praktik dokter umum, yang hanya perlu mengurus NIB dan Sertifikat Standar yang diverifikasi oleh Dinkes tanpa perlu izin tambahan.

Dalam hal kewajiban teknis, apotek menanggung tuntutan yang jauh lebih kompleks. Mereka harus memiliki instalasi penyimpanan limbah B3, alat pemantau suhu otomatis untuk produk cold-chain, serta sistem keamanan seperti CCTV dan pengunci untuk lemari narkotika. Dokter umum hanya diwajibkan menyediakan sarana praktik dasar, perlengkapan P3K, dan tempat pembuangan limbah medis sederhana.

Biaya kepatuhan pun menjadi timpang. Apotek harus berinvestasi dalam alat-alat canggih seperti data logger suhu, kontainer limbah khusus, serta software pelaporan SIPNAP. Dokter umum cukup dengan perlengkapan medis dasar, tempat limbah infeksius, dan Alat Pelindung Diri (APD) ringan. Dalam praktiknya, modal dan biaya operasional apotek jauh lebih tinggi, meski pendapatan mereka bisa setara atau bahkan lebih kecil daripada praktik dokter mandiri.

Terakhir, dari sisi sanksi, apotek menghadapi risiko hukum yang lebih berat. Kelalaian dalam pelaporan SIPNAP atau kesalahan penyimpanan narkotika bisa berujung pada sanksi pidana, pencabutan izin, bahkan penyitaan seluruh stok. Di sisi lain, pelanggaran oleh praktik dokter umumnya berakhir pada peringatan administratif, denda ringan, atau pencabutan Surat Izin Praktik (SIP)—tanpa risiko hukum pidana langsung kecuali ada kasus malpraktik berat.

Rekomendasi Perbaikan Regulasi

  1. Klasifikasi Apotek Bertingkat: Bedakan apotek mikro vs jaringan. Berikan relaksasi bagi yang memenuhi ISO 9001 atau teknologi e-dispensing.

  2. Skor Risiko Dinamis: Praktik dokter yang overprescribing antibiotik atau punya banyak pelanggaran bisa naik klasifikasi.

  3. Insentif Kepatuhan: Apotek yang taat selama ≥3 tahun bisa turun ke status risiko menengah-tinggi.

  4. Model Risiko Terintegrasi: Gabungkan variabel seperti dampak populasi resep dalam algoritma OSS agar lebih seimbang.

Kesimpulan

Memang benar bahwa apotek memiliki kompleksitas operasional yang tinggi, terutama dalam hal rantai pasok dan pelaporan. Tapi sistem OSS RBA juga perlu lebih fleksibel, adil, dan berbasis data faktual. Kesehatan publik bukan hanya soal “izin”, tapi tentang bagaimana regulasi bisa mendorong mutu tanpa memberatkan yang patuh.

Sudah saatnya OSS RBA menjadi alat yang adaptif, bukan hanya pengklasifikasi risiko, tapi juga pendorong inovasi dan kepatuhan di sektor kesehatan.