Apotek di Persimpangan Jalan: Krisis Identitas Antara Misi Kesehatan dan Logika Bisnis
Mempertanyakan Kewarasan


Regulasi terbaru di sektor farmasi, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 11 Tahun 2025, membawa perubahan fundamental yang memicu krisis identitas serius bagi apotek di Indonesia. Dengan mengalihkan sistem perizinan dari Surat Izin Apotek (SIA) ke Perizinan Berusaha (PB) berbasis risiko, regulasi ini menciptakan sebuah paradoks yang mengakar.
Di satu sisi, Permenkes 11/2025 secara substantif masih mendefinisikan apotek sebagai "fasilitas pelayanan kesehatan penunjang tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker". Namun di sisi lain, secara operasional, regulasi ini mengklasifikasikan apotek ke dalam KBLI 47721, yakni "Perdagangan Eceran Barang Dan Obat Farmasi Untuk Manusia Di Apotek".
Kontradiksi ini bukanlah sekadar teknikalitas administratif. Ini adalah fragmentasi konseptual yang membelah identitas apotek: apakah ia pada hakikatnya sebuah fasilitas pelayanan kesehatan (health facility) dengan misi sosial, ataukah entitas bisnis ritel (retail business) dengan orientasi komersial?
Dari Pelayanan Menjadi Perdagangan: Pergeseran Filosofi
Peraturan sebelumnya, Permenkes 9/2017, secara tegas memposisikan apotek sebagai "sarana pelayanan kefarmasian" (pharmacy service facility). Fokusnya jelas pada pharmaceutical care, pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien, sebagai esensi dari keberadaan apotek.
Namun, Permenkes 11/2025, yang sejalan dengan semangat Undang-Undang Cipta Kerja, mengubah paradigma ini. Apotek kini diregulasi sebagai "kegiatan usaha" (business activity). Fokus regulasi pun bergeser dari standar pelayanan profesi menjadi standar operasional bisnis.
Secara filosofis, ini adalah transformasi dari "melindungi kesehatan publik melalui standar profesional" menjadi "memfasilitasi kemudahan berusaha sambil mengelola risiko operasional". Pertanyaan kritisnya: apakah pharmaceutical care, yang menyangkut nyawa dan keselamatan pasien, cocok diregulasi dengan logika fasilitasi bisnis?
Degradasi Sang Profesional: Apoteker di Bawah Bayang-Bayang Korporasi
Implikasi paling signifikan dari perubahan ini adalah reduksi identitas profesi. Dalam paradigma lama, apotek adalah perpanjangan dari praktik profesi Apoteker, dilegitimasi oleh kompetensi dan lisensi profesional.
Dalam paradigma baru, apotek adalah "kegiatan usaha perdagangan eceran" yang dilegitimasi oleh Perizinan Berusaha (NIB). Permenkes 11/2025 secara eksplisit mengizinkan pelaku usaha apotek berbentuk badan usaha (non-apoteker). Ini membuka pintu lebar bagi korporatisasi, di mana Apoteker terdegradasi statusnya dari seorang praktisi profesional menjadi sekadar "penanggung jawab teknis" dalam struktur bisnis.
Hal ini menciptakan risiko serius:
Subordinasi Otonomi Profesional: Apoteker menjadi bawahan dari pemilik modal yang mungkin lebih mengutamakan profit di atas keselamatan pasien (profit over patient safety).
Konflik Kepentingan: Tekanan untuk mencapai target penjualan dapat mendorong Apoteker melakukan praktik yang tidak sesuai dengan standar etika profesi.
Kaburnya Akuntabilitas: Jika terjadi medication error, siapa yang bertanggung jawab? Apoteker sebagai penanggung jawab teknis, atau direktur perusahaan sebagai pemilik modal?
Kekacauan Logika dalam Regulasi
Ambiguitas status hukum apotek ini menciptakan berbagai inkonsistensi dalam aturan main itu sendiri:
Paradoks Izin: Permenkes 11/2025 menyatakan masa berlaku Perizinan Berusaha (PB) Apotek mengikuti masa berlaku Surat Izin Praktik (SIP) Apoteker. Ini secara konseptual tidak koheren. PB adalah izin usaha (business permit), sementara SIP adalah lisensi profesional (professional license). Mengaitkan izin operasional sebuah badan usaha dengan lisensi seorang individu menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko investasi yang tinggi.
Definisi vs. Klasifikasi: Regulasi ini ibarat mengatakan bahwa rumah sakit adalah "fasilitas pelayanan kesehatan" namun mengklasifikasikannya sebagai "bisnis perhotelan" (KBLI untuk hotel).
Fungsi vs. Kode: Regulasi menuntut "praktik kefarmasian" (domain profesi) namun mengaturnya sebagai "perdagangan eceran" (domain komersial).
Apoteker pun kini terjepit dalam beban akuntabilitas rangkap tiga: ia harus patuh pada standar etika profesi, standar kepatuhan bisnis, sekaligus tuntutan pelaporan administratif yang kian berat. Beban birokrasi ini berisiko mengalihkan fokus Apoteker dari inti tugasnya melayani pasien menjadi sekadar memenuhi kepatuhan administratif.
Risiko "Mission Drift": Saat Profit Mengalahkan Kesehatan
Kategorisasi apotek sebagai "perdagangan eceran" menciptakan risiko pergeseran misi (mission drift). Dalam logika bisnis murni, apotek akan cenderung:
Memprioritaskan penjualan produk high-margin (seperti suplemen dan kosmetik) ketimbang obat esensial.
Mengejar volume transaksi ketimbang menyediakan konseling farmasi yang berkualitas (yang memakan waktu).
Berlokasi di area komersial yang profitabel (seperti mal) dan mengabaikan daerah rural yang membutuhkan akses.
Regulasi baru ini tidak menyediakan 'rem pengaman' (safeguard) yang eksplisit untuk mencegah komersialisasi berlebihan ini. Apotek berisiko menjadi commercially viable but socially irresponsible, efisien secara bisnis, namun gagal dalam misi utamanya di bidang kesehatan masyarakat.
Jalan Keluar: Mengembalikan Apotek pada Misi Utamanya
Perubahan dari SIA ke PB bukan sekadar urusan administrasi, melainkan pertaruhan identitas dan masa depan pelayanan kefarmasian di Indonesia. Untuk mengatasi paradoks fundamental ini, diperlukan sebuah rekonstruksi paradigma:
Klarifikasi Identitas Legal: Regulator harus memilih. Jika apotek adalah fasilitas kesehatan, ia harus diatur dengan skema lisensi profesional, bukan izin bisnis. KBLI-nya pun harus direvisi untuk mencerminkan penyediaan jasa kesehatan, bukan perdagangan ritel.
Perlindungan Otonomi Profesi: Kepemilikan apotek oleh korporasi non-apoteker harus dibatasi dan diatur secara ketat, untuk memastikan Apoteker tetap memiliki otonomi dalam mengambil keputusan klinis demi keselamatan pasien.
Kepastian Hukum: Masa berlaku izin usaha (PB) apotek harus ditetapkan secara pasti (misalnya 5 tahun) dan dipisahkan dari masa berlaku SIP Apoteker. Ini memberikan kepastian investasi sekaligus memperjelas status legal entitas bisnis dan praktisi profesional.
Penegasan Misi Sosial: Regulasi harus secara eksplisit mewajibkan apotek menjalankan kewajiban sosialnya, seperti menjamin ketersediaan obat esensial dan melayani program jaminan kesehatan nasional.
Tanpa langkah korektif ini, kita berisiko memiliki sistem apotek yang secara teknis patuh pada aturan bisnis, namun secara substansial telah kehilangan jiwanya sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan.
